Bapak dari mama asli Klaten, ibu mama asli Karanganyar
bapak dari papa asli Pedan besar di Laweyan, ibu papa asli Jagalan, Solo
bapak mertua aku asli Tawangmangu, ibu mertuaku asli Wirengan, Baluwarti, Solo
(aku jelasin gini semoga pada ngerti daerah-daerah itu)
jadi kesimpulannya aku orang jawa tulen, suamipun jawa tulen..
aku dibesarkan oleh banyak ibu, seperti yang pernah aku kisahkan..
dan dari ibu-ibuku itu aku dibesarkan dengan falsafah dan aturan JAWA
menurut aku, menguasai bahasa ibu adalah hal yang wajib, sebagai orang jawa aku harus bisa berbahasa jawa yang baik, dalam keseharianpun dirumah kami menggunakan bahasa jawa.
aku diajarkan bagaimana jika harus berbicara dengan orang lain, mama selalu bilang sama siapapun kita harus "boso"
boso artinya, aku harus berbahasa jawa halus dengan orang lain terlebih orang yang lebih tuwa, baik dia keluarga, kerabat, sampai penjual sayur di pasar dan tukang becakpun, harus kita hargai..
(aturan ini berlaku terlebih ketika aku berada di Solo, kalu pas nggak di solo ya mana mungkin)
walaupun untuk kepentingan globalisasi dan perkembangan jaman menguasai bahasa asing itu penting, tapi tak juga lantas mengesampingkan bahasa ibu kita.
aku tak melulu di besarkan di jawa, dari kelas 4 SD sampai lulus SMP aku tuntaskan di Denpasar, kini pun aku tinggal di Denpasar, namun hal itu tak lantas melunturkan bahasa Jawaku.
aku heran ketika sesorang pergi merantau lantas seperti kehilangan ingatan akan bahsa jawa, logat boleh berubah, tapi kita tak lantas lupa akan bahasa ibu kita, sejauh-jauhnya kita pergi merantau pasti suatu saat akan kembali ke kampung halaman. banyak bukti yang nyata, ketika kumpul keluarga besar, banyak saudara yang tak bisa menggunakan bahasa jawa dengan benar, itupun hanya bahsa jawa "ngoko" bukan bahasa jawa halus.
dalam membesarkan anak aku akan tetap memberlakukan nilai-nilai JAWA dalam hidupnya..
bagaimana ketika dipanggil harus menjawab "DALEM", dalem artinya saya.
ini wajib, karena sopannya memang begitu, aku yang harus sekuat tenaga mengajarkan ini pada pengasuh Arka, dia orang NTT mengucapkan DALEM tentu bukan hal mudah untuknya, tapi ini harus dilakukan.
bagaimana seseorang tidak boleh bersendawa seenaknya didepan orang lain, hal ini tentu sama dengan nilai orang barat, ketika sudah di meja makan, semuanya tunduk pada aturan makan, ada Table Manner istilah kerennya. dan makan tidak boleh mengeluarkan suara"cap cap cap", mungkin bagi masyarakat di daerah lain tak jadi soal, tapi bagi keluarga kami, itu hal yang sangat tidak sopan. begitu pula aku akan mengajarkannya pada anakku.
aku mencintai budaya JAWA, mungkin bukan tipe yang menekuni dan mengamati dengan tekun, tapi hanya sekedar menyukai dan mengagumi. keluarga besar suamiku dari pihak ibunya adalah keluarga seniman, kakak-kakaknya dari kecil sampai hendak menikah adalah penari, ibunya penari, kakak sepupunya ada yang dosen tari, pakde-pakdenya apalagi, ada yang seniman kendang, ada yang penari, terlebih eyangnya. jelas darah seni ada dalam diri suami, walaupun seni yang dia tekuni adalah seni musik, jaman sekalah sampai SMA hisupnya adalah untuk grup BANDnya.
budaya jawa terdiri dari berbagai macam bentuk,ada seni musik, seni tari, seni wayang, dan berbagai macam bentuk yang ada.
seni musik bisa terdiri dari berbagai macam bentuk juga, bisa seni gamelan, campur sari, dan lagu-lagu jawa lainnya, hip ho bahkan bosanova jawa pun ahkir-ahkir ini marak di dendangkan dan di putar.
ada cerita menarik, sebetulnya aku agak sedikit tersinggung kala itu, jujur aku menyukai mendengarkan lagu-lagu jawa, apapun itu, gending-gending jawa mengingatkan aku pada nyanyian nina bobo yang selalu Yuthi Bitan nyanyikan untukku. damai dihati dan haru merindu sosoknya yang kini telah tiada.
pun begitu dengan campur sari, siapa yang tak kenal DIDI KEMPOT, penyanyi campursari yang telah mendunia.
pernah ada saudara yang tinggal di jakarta datang, bilang padaku, dengan nada sedikit merendahkan, itu penyanyi kesukaanmu DIDI KEMPOT, aku setengah sewot njawab (sebenernya aku mungkin agak kurang ajar ya karena dia orang yang lebih tua), trus emangnya kenapa?? masih mending lagi, dia kan orang jawa, melesatrikan budaya jawa, campursari bukan musik kampungan, tapi itulah salah satu budaya jawa, kalo bukan orang jawa lagi yang melestarikan siapa lagi??
dalam hati aku sebenrnya lebih betkata dengan tegas, hey bung, kamu yang orang jawa saja tidak bisa mencintai dan melestarikan budayamu, aku pun tak pernah mempersoalkan itu, karena hidup itu pilhan, bagaimana seseorang menjalaninya biarkan saja, toh tidak merepotkanmu.
aku bmendengarkan DIDI KEMPOT bukan karena tanpa alasan, siapa yang tak kenal musisi jawa itu, dia turut serta mengharumkan nama SOLO karena dia memang orang SOLO. aku turut hormat karena sebegitu cintanya akan campursari. salah satu lagunya sangat disukai "Suwargi" ibu papaku, SEWU KUTHO, tiap aku mendengarnya jujur air mata ini jatuh membasahi pipi. itu sebabnya juga aku mencintai campursari.
ketika aku akan menikah, menikah, hamil, tujh bulan, sampai punya anak, semua ritual budaya jawa aku jalani.
siraman, sungkem sama orang tua, midodareni, upacara temu, ngunduh mantu, mitoni ketika hamil Arka karena mitoni hanya berlaku untuk anak pertama, bancakan jenang procotan supaya melahirkan nanti lancar, bancakan sepasaran Arka, bancakan selapan Arka, tedak siten Arka, sampai nantipun akan tetap aku lestarikan, ketika ada orang yang berpulang, tetap menyelenggarakan sembahyangan dari Geblag sampai 1000 hari lengkap dengan ingkung dan sesaji yang lain.
terserah orang mau bilang apa. yang jelas aku akan melestarikan dan menjalankan apa yang dianggap baik oleh leluhurku, tak pandang bulu dan membeda-bedakan apapun agamamu, hendaknya tetap melestarikan budaya JAWAmu..
wong JOWO kuwi ojo ilang/ngilangi JAWAne..
orang jawa itu jangan hilang atau menghilangkan jawanya..
bagi saya hal itu saya amini, saya pahami dan saya jalani..
untuk anda?
pilihan hidup ada di masing-masing orang
jadi jalani hidup ini dengan pilihanmu dan jangan pusing dengan pilihan orang..
Mantebbbb.....
BalasHapusBener mbak . ,
BalasHapusapalagi yg sudah merantau . Malah bahasa ibu dan segala tetek bengek budayanya dianggap ndeso dan ketinggalan jaman .
Bagaimana menghilangkan paradigma itu ya ?
Apa menunggu di claim malaysia dulu baru anak2 mudanya mau menguri-uri ?
Salam hangat dari sesama orang jawa. Saya sangat setuju dengan tulisan Anda,
BalasHapusSaya sendiri prihatin sepupu-sepupu di Jakarta tidak bisa berbahasa jawa kromo inggil.
Padahal selain untuk bersopan santun, kromo inggil juga untuk memahami serat serat jawa yang adhi luhung seperti macapat bahkan centhini yang memakai kromo inggil juga boso kawi yang mirip mirip kromo inggil. Saya saja yang besar di Solo masih grothal grathul kalau membaca serat serat kuno itu, merasakan betapa adhi luhung kesusastraannya. Sekali lagi salam hangat.