Nama yang singkat, Mariam, tapi dalam hidupku tak pernah ada orang memanggilnya dengan namanya itu. Suaminya bernama kecil Sugi, namun yang aku tau, sejak aku dilahirkan, ia menyandang nama Wignyokartono. Dan semua orang memanggil Mariam dengan sebutan, Bu Wig. Entah dia putri keberapa dan dari siapa dia dilahirkan, karena yang aku tau, aku bisa memanggilnya Yutti, berarti dia eyang buyutku, ibu dari ibu papaku. Kulitnya hitam manis, senyummnya selalu memberi kedamaian dalam hati, tubuhnya kecil apalagi jika berada di samping Suaminya, Yutkung ku itu berpawakan tinggi besar ganteng dan gagah bahkan sampai saat aku menulis inipun beliau tetap gagah, walau harus berjalan dengan bantuan sebuah tongkat penyeimbang tubuhnya, beberapa tahun yang lalu tulang panggulnya sempat dioperasi karena jatuh terpeleset, Yuttiku tidak gemuk dan tidak kurus, kata orang tubuhnya dulu sempat gemuk, karena termakan usia maka tubuhnya berubah menjadi lebih kurus, beliau selalu rapi, dari baju yang dikenakan selalu serasi dengan bawahannya. Salah satu bajunya masih disimpan mamaku di salah satu lemarinya. Hobinya memasak, di setiap ada acara arisan atau acar keluarga apapun itu tak pernah keluarga kami menggunakan jasa catering, semua masakan pasti mahir beliau masak, walaupun akan dibantu oleh beberapa orang dan ia akan layaknya sebuah mandor yang mengawasi apakah semua berjalan sempurna. Yang tidak mungkin aku lupa adalah ketika beliau memecah telur, pasti ibu jarinya dengan sigap akan mengorek telur tersebut sampai tak ada sedikitpun yang tersisa, sama halnya jika membuat masakan dengan saos tomat, tak dibiarkan sedikitpun saos tomat tersisa di botol, akan beliau beri air panas dan membersihkannya sampai bersih. Jika harus membuat sudi atau takir (entah bagaimana aku harus menjelaskan ini dalam bahasa Indonesia) yang jelas beliau sangat mahir membuatnya, setiap helai daun pisang yang hendak dibuat sudi atau takir beliau lap dan bentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk sudi dan takir tersebut, kami semua para anak cucu buyutnya tak ada yang bisa membuat hal yang serupa. Semua orang mangakui masakannya sangat enak, tak ada yang dapat menandinginya dan tentu saja aku sangat merindukan itu semua.
Tak hanya terkenal dalam memasak, keahliannya tentang tradisi jawa, membuat Yutti dan Yutkungku laris sebagai panitia manten, baik sebagai orang yang dituakan atau sebagai tempat bertanya dalam berbagai macam hal, dalam tradisi pernikahan adat jawa, ada orang yang bertugas dalam prosesi “temu” pasti Yuttikulah yang kerap dimintai untuk menjadi orang tersebut, begitu pula untuk “nyirami manten” banyak orang yang memohon dan meminta restu, sebagai orang jawa mereka semua “ngemum”, saat aku menikah beberapa waktu yang lalu, aku menangis ketika disirami, aku membayangkan tangannya turut serta memandikan aku. Tapi aku tau, doa dan restunya sudah mengalir padaku. Selain pernikahan, Yutti ku sangat tau mungkin telah di pahami diluar kepala serba-serbi tradisi adat jawa lainnya, Upacara Mitoni saat seorang perempuan kandungannya menginjak tujuh bulan, dan upacara “thedak siten” atau upacara “pitung lapan” bagi bayi. Yuttiku selalu berada di depan, memimpin serangkaian upacara adat jawa tersebut.
Beliau ibu yang telah melahirkan tiga buah hati hasil pernikahannya dengan Yutkungku, Anak pertamanya Laki-laki, Anak keduanya Perempuan (dan dialah yang menjadi ibu dari papaku), dan anak ketiganya perempuan (eyangku yang satu ini kini tinggal di Ibu kota negaraku). Dulu aku mengira bahwa ibu dari ayahkulah anak yang paling tua, namun seiring berjalannya waktu, aku baru tau, Anak Yutti dan Yutkungku yang paling tua adalah seorang laki-laki gagah dan rupawan. Tak perlu kuceritakan siapan namanya, yang aku tau dari cerita-cerita keluargaku, beliau hilang karena diculik pada masa G-30 S PKI. Ya, beliau salah satu korban yang tak tau apa-apa, beliau bisa dikatakan sebagai seorang seniman, dia tergabung dalam kesenian reog dikampungnya. Mungkin memang sudah suratan takdir, bahwa grup reognya menjadi penghibur acara utama ulang tahun partai komunis saat itu, dan beliau memang keponakan salah satu tokoh komunis di kampungnya. Pada saat itu pekerjaan utama Yutkungku adalah seorang Jagal atau berjualan daging sapi di pasar, stigma yang tumbuh saat itu adalah dimana para jagal-jagal sapi sangat identik dengan Komunis, bukan Yutkungku yang diculik melainkan anak lelaki tertuanya, aku tak tau bagaimana kelanjutan ceritanya, yang aku tau, anak lelaki tertua Yutkungku itu telah berpulang, tak ada jasad yang bisa di makamkan, namun beberapa kali kami semua mencari tau dari orang-orang yang tau tentang dunia yang tidak semua mahkluk ciptaanNya memahami dunia itu, hampir semua berkata sama, bahwa Beliau telah tiada, di bunuh di suatu hutan. Sungguh miris dulu waktu pertama kali aku mengetahuinya. Apa yang kubayangkan adalah, bagaimana seorang ibu seperti Yuttiku dapat menerima itu, mungkin saja saat aku tau, hal tersebut telah berlalu sekian puluh tahun yang lalu, namu aku yakin, jauh di dalam perasaan Yuttiku masih selalu mendoakan, jangankan kabarnya, jasad putranya pun tak sempat dia temui. Betapa hebat Yutti memendam semua rasa itu. Tak pernah ada yang tahu bagaimana sebetulnya hatinya terluka.
Dari aku lahir sampai aku berusia delapan tahun aku dibesarkan dirumah papaku. Dimana dirumah itu setiap paginya, Yutti Yutkung ku datang kerumah itu, rumah mereka tak seberapa jauh dari rumah. Setiap pagi, mereka datang sambil membawakan makanan kesukaanku, mereka berdualah yang selalu setia merawat dan turut serta membesarkan aku. Dengan sebuah vespa atau terkadang dengan mengendarai chevrolet keluaran lama, mereka berdua membawaku kemana saja. Ketika aku sakit, mereka berdualah yang dengan setia membawaku ke dokter, mama papaku yang kala itu masih disibukkan dengan kegiatan kuliah mereka, tentu saja tidak mempunyai banyak waktu luang, alasan lain yang sering diutarakan oleh mamaku karena ia sangat anti dan takut dengan dokter tempat biasanya aku di periksa, dokternya galak, begitu kisahnya. Begitu pula ketika waktu aku kecil aku tidak mau makan, di kota kelahiranku bila seorang anak kecil tidak doyan makan maka akan “dicekoki” dengan jamu-jamuan tradisonal, beliau berdualah yang dengan setia mengantarkan aku.
Ketika aku dan adikku bawa pindah oleh mamaku ketoka sekarang aku tinggal untuk menyusul papaku yang sudah terlebih dahulu pindah, aku masih kelas 4 SD waktu itu, setiap kali kami semua pulang ke kota kelahiranku, beliau selalu menyambut kami dengan senyumannya. Memasuki masa SMA ku, aku pindah lagi ke kota kelahiranku itu. Mengingat kondisi tubuhnya yang semakin rapuh dan menjadi lebih sering sakit, ibu dari ayahku menyuruhnya pindah ke rumahnya. Otomatis waktu bertemu kami menjadi lebih sering. Salah satu sepupu ayahku berkuliah di kota sebelah, akupun tinggal bolak-balik di rumah ibu dari mamaku.
Selama aku SMA Yutti beberapa kali masuk rumah sakit, aku dan tanteku selalu setia menemani dan merawat Yutti, padahal ketika subuh tiba aku berpamitan pada Yutti untuk pulang dan bersiap-siap sekolah, sepulang sekolah akupun kembali ke rumah sakit untuk merawatnya. Pernah di suatu pagi, aku terbangun menyadari tikar yang menjadi alasku tidur basah, boleh percaya boleh tidak, air yang mengalir adalah cairan infus yang di lepas paksa oleh Yutti dengan alasan ingin pergi ke kamar mandi sendiri dan sudah risih menggunakan infus. Apabila dirumah, beliau layaknya jam wekerku setiap pagi, ketika jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, otomatis pintu kamarku diketuknya dan bertanya, bangun apa nggak, udah subuh ayo sekolah. Ketika ada waktu senggang, beliau tiduran di kamarku, sambil menceritakan kejadian-kejadian masa lampau, menceritakan masa aku kecil dan bernostalgia akan masa lalunya, kadang hanya diam, melihatku belajar dan bercanda bersama.
Suatu pagi di bulan Agustus 2005, beliau jatuh dari tempat tidurnya, kami semua membawanya ke rumah sakit, aku tak bisa turut serta. Aku harus sekolah. Sore harinya aku ke rumah sakit, dengan setia aku menyuapinya, dan untuk beberapa hari makannya sangat susaah. Aku yang kala itu duduk di Kelas 3 SMA, wajib mengikuti kegiatan Retret di suatu tempat yang dapat d bilang amat jauh, sehari sebelum aku berangkat, aku menyuapinya, namun beliau menolak, aku lapor pada suster yang sedang jaga, karena tubuhnya semakin lemah, diputuskan untuk memasukkan makanan dengan melakukan sonde, setelah di sonde, aku mengelap mulutnya yang sudah mengeluarkan cairan kental bahkan bisa di bilang seperti bubur, belakangan aku tau, kalo seseorang sudah mengeluarkan cairan itu dari mulutnya maka ajalnya pun telah dekat, apabila aku tau saat itu mungkin aku akan histeris. Aku tetap berangkat retreat, dengan berat hati aku tinggalkan Yuthiku yang sedang tergeletak di rumah sakit. Aku semakin risau karena aku tidak boleh membawa alat komunikasi apapun. Sesampainya disana hatiku tetap risau, malam harinya aku tau ada salah satu temanku membawa alat telekomunikasi, aku memohon padanya supaya diijinkan mengirim pesan singkat pada mamaku, betapa tambah galaunya perasaanku ketika mendapatkan jawaban, papa mama dan kedua adikku tengah dalam perjalanan menuju kota kelahiranku, ada apa ini tanya ku dalam hati, mama hanya menjawab Yuttiku Kritis dan mamaku memintaku untuk terus berdoa. Keesokan harinya, adik mama ku datang menjemputku di rumah retreat hal itu dilakukan setelah mendapatkan ijin dari Kepala Sekolahku, aku kaget, saat aku dijemput aku tidak tahu kalo Yutti ku telah berpulang ke pangkuan Tuhan, 12 Agustus 2005, menjadi hari kepulangannya pada Sang Pencipta. Selama perjalanan menuju kotaku aku lebih banyak tidur dan ingin cepat sampai, padahal perjalan sangat lama karena jarak yang ditempuh tidak dekat. Sesampainya aku di rumah, mama papa dan adik-adikku pun telah datang, aku d suruhnya mandi dan makan sebelum mama memberi tahuku bahwa Yuttiku telah pergi. Sebetulnya aku sudah menyangka bahwa inilah alasan utama kenapa aku di jemput dari rumah retreat dan kenapa papa mama dan adik-adikku pulang. Jika mengingat kejadian itu seperti lagu BING, gubahan Titik Puspa.
“Siang itu surya berarti sinarnya
Tiba-tiba redup langit gelap
hati yang bahagia terhentak sketika,
malapetaka seakan menylinap
Berita mengglegar aku terima,
kekasih berpulang tuk selamanya,
hancur luluh resah jiwa dan raga
Tak percaya tapi nyata
Ku bersimpuh disisi jasad membeku
Doa tulusa dan air mata
Sgala dosa kumohonkan ampunanNya
Seakan terjawab dan kau trima
Kapan lagi kita kan bercanda
Kapan lagi bermanja
Kapan lagi nyanyi bersama lagi,
Kapan oh kapan lagi
Tiada waktu seindah dahulu lagi
Tiada mungkin kembali
Tiada nama seharum namamu lagi
Tiada tiada bing lagi”
Aku selalu berurai air mata ketika aku mendengar bahkan ingin menyanyikan lagu itu untuk Yutti. Jika seorang Titik Puspa dapat mengubah sedemikian indah untuk kekasih jiwanya, teman, sahabat, atau apapun arti seorang Bing Slamet yang meninggal di waktu itu, aku rasa hal yang sama seperti aku kehilangan Yuttiku. Tak hanya aku saja yang saat itu merasakan kehilangan yang luar biasa, hampir semua anggota keluarga merasakannya, tak pernah aku melihat papa begitu berurai air mata dan terpukul, mungkin saja dia kehilangan lebih dari sekedar seorang nenek yang dia cinta, namun juga sosok ibu lain yang selama ini turut membesarkannya. Ada sesal di dalam diri, kenapa saat beliau menghembuskan nafas terahkirnya aku tak sempat ada di sampingnya, tak sempat meminta maaf, bahkan memohon doa dan restunya selagi aku bisa. Begitulah aku mengenal dan mencintai seorang MARIAM dalam hidupku, sampai saat inipun aku selalu menaburkan bunga diatas pusaranya ketika aku pulang, tak lupa setelah berdoa kuciumi nisannya, sebagai tanda cintaku yang tak pernah padam. Tenang dan bahagialah disana. Restui aku dan calon canggahmu ini yut.
Komentar
Posting Komentar