Sri Hartati Sarmodo, begitu namanya. Sarmodo adalah nama bapaknya. Aku tak tahu dari lahir memang sudah dinamai seperti itu atau tidak, setahuku hanya ibu yang menyandang nama Sarmodo dibelakang namanya. Tidak dengan saudaranya yang lain. Nama kecilnya adalah ”limbuk”, bu limbuk begitu aku sering memanggilnya. Beliau adalah ibu mamaku. Suaminya Nugroho. Sewaktu aku kecil, hanya setiap akhir pekan saja aku menginap dirumahnya, sebagian besar waktuku memang ku habiskan dirumah papaku. Berbanding terbalik ketika aku mulai pindah kembali ke kota kelahiranku, hampir sebagian besar waktuku ku habiskan dirumah mamaku.
Ibu telah melahirkan lima buah hatinya, anak pertamanya perempuan YOSIDA SASANTI namanya, akan ku ceritakan tentangnya juga di bagian selanjutnya, yang aku tahu, dia telah berpulang pada Nya. Mamaku adalah putri keduanya, setelah mamaku ada adik perempuannya yang juga sudah kuanggap sebagai ibu yang turut membesarkanku, kemudian ada dua adik laki-laki mamaku. Aku mengenal ibu mamaku sebagai sosok ibu yang luar biasa, tak hanya sebagai ibu, ibu yang kala itu telah lebih dewasa dibanding adik-adiknya selalu berdiri didepan membantu dan menjadi tumpuan adik-adiknya. Aku pernah mendengar kisahnya ketika adik lelakinya akan menikah, beliaulah yang dengan sukarela membelikan seragam satu keluarga dan hantaran untuk calon adik iparnya. Jangan dikira ibu dan bapak mamaku kaya raya. Mereka berdua adalah sepasang Guru kala itu, namun ibu jauh lebih beruntung, ia diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan menjadi seorang Kepala Sekolah ditempat ia dan bapak mengajar. Namun sungguh aku mengakui hatinya sangat kaya. Ia juga sering bercerita padaku, dulu ketika adik laki-lakinya ingin mendaftar pekerjaan dan butuh kemeja baru, ia lantas membuka kemeja baru bapak yang masih terbungkus rapi dari bungkusnya dan diberikan pada adik laki-lakinya itu. Tak hanya pada adiknya, pada orang yang membutuhkanpun ibu tak segan-segan menolong, ibu pernah bahkan sering membantu orang, ibu pernah menyekolahkan seorang bocah dari SMP hingga lulus STM, namun entah kemana bocah itu sekarang. Tak terkira apa yang telah ibu lakukan terhadap sesamanya.
Sebagai seorang ibupun, ibu istimewa bagiku. Walaupun ibu hanya seorang guru, mamaku pernah mengisahkan pernah mempunyai tigapuluh pasang sepatu waktu ia remaja. Ia mendidik anak-anaknya supaya gantian ketika meminta sesuatu, ibu dan bapak bergaji pas-pasan, sedangkan mempunyai lima anak adalah bukan hal yang gampang. Rumah yang sampai sekarang ibu tempati adalah juga rumah dimana ibu tumbuh, rumah ibu berdampingan dengan rumah Pakdhe ibu mamaku, Makno Taroehendroko namanya, orang yang turut berjasa membesarkan ibu, Almarhumah Istrinyapun sangat berjasa bagi ibu, ibu yang tidak tinggal berdekatan dengan orang tua kandungnya merasa bahwa tanpa Budhenya itu maka ibupun tak akan bisa menjalani kehidupan sebagai ibu bagi kelima anak-anaknya. Mamaku adalah anak ibu yang membutuhkan penanganan khusus, ketika dilahirkan mamaku adalah pasien dokter yang kala itu melahirkan sebagai pasien dokter adalah barang mewah. Proses melahirkan mamakupun diingat ibu sebagai masa yang paling berat, mamaku sungsang, dan kala melahirkan mamakupun ibu hanya ditemani bapak, anak pertama ibu kala itu baru berusia dua tahun. Dari bayi hingga balita mama sangat ringkih, sering keluar masuk dokter. Ibu yang kala itu masih sangat terbatas dalam hal materi, Budhe Makno selalu turun tangan membantu ibu. Anak ketiga ibu dan bapak, adik mamaku itu, sangat lengket dengan Pakdhe dan Budhe ibu. Ibupun pada awalnya tidak pernah mempermasalahkan hal itu, namun ibu mengisahkan, dulu ketika hendak mengajak anak ketiganya itu pergi harus diiming-imingi akan diberikan rok, baru tanteku mau turut serta pergi dengan ibu. Kadang adik laki-laki mama malah merasa asing padanya kalau pergi omku selalu mengatakan ”Anakke tongone kok diajak? (anak tetangganya kok diajak), anak ketiga dan keempat ibu hanya berjarak duabelas bulan duapuluh hari, itu sebabnya tanteku diasuh oleh pakdhe dan budhe ibu dan omku tetap dirumah dengan pengasuhnya. Rumah ibu dan pakdenya masih satu halaman namun memang berbeda bangunan. Ibu mengurus kelima anaknya dibantu oleh seorang pengasuh, Mbok Yem namanya.
Ketika aku lahir terpaut dua bulan ibu juga mendapat cucu lagi, kakak perempuan mama melahirkan bayi laki-laki sehat, aku tumbuh bersama dengannya, dan bagiku sepupuku itu bagaikan ”soulmate”. Aku tumbuh bersama dengannya masa kecil kami yang bahagia. Ibu adalah figur ibu yang dipunyai sepupuku itu, ibu menggantikan posisi putri pertamanya ketika sepupuku itu belum genap menginjak usia dua tahun. Seperti kukatakan tadi, putrinya kembali ke Sang Pencipta diusianya yang masih muda. Ibu sering mengatakan padaku, sampai detik inipun ketika orang menguak dan mengisahkan kepergian putrinya hatinya masih sakit seperti tersayat sembilu. Akupun dalam kesempatan ini meminta maaf padanya, aku ungkap sedikit kisah itu, dan akan kuceritakan putrinya yang ayu rupawan itu disalah satu bagian tulisanku. Begitu pula dengan pergolakan batin dan pengalamannya menjalani peran sebagai ibu.
Kepergian putrinya menjadi pengalaman tersendiri baginya, terlebih ia seorang ibu yang mengandung dan melahirkan. Ibu harus kehilangannya dalam kecelakaan lalu lintas di kawasan Krian, Jawa Timur, jalan besar yang selalu dilewati ketika akan ke Surabaya, jalan yang langsung bersebelahan dengan sungai besar. Didalam mobil yang saat itu dikendarai papaku, ada ibu, mamaku, dan budheku. Ibu berbesar hati, ketika ada anggota kepolisian menanyakan, apakah ibu akan memperkarakan sopir yang menyebabkan ibu kehilangan putrinya, ibu tentu saja dengan tegas menjawab tidak, beliau mengatakan hatinya sudah cukup hancur kehilangan putrinya yang dicinta, tak mungkin ia akan tega melukai hatinya sendiri ketika harus memenjarakan menantunya sendiri dan melihat putrinya yang lain harus merelakan suaminya dipenjara, tidak, tentu tidak jalan itu yang ibu pilih. Ibu menceritakan tidak mudah melewati masa-masa dukanya, ibu terpuruk dalam kesedihan, mungkin tidak diperlihatkan secara nyata, namun aku yakin hatinya pasti mengiyakan pendapatku. Tak banyak acara yang ia sanggup datangi, kalo saja bukan pernikahan saudara atau kerabat dekat tentu saja ibu akan keberatan jika hadir, ibu mengasingkan diri. Namun ibu perlahan-lahan bangkit. Ibu tahu putrinya telah tenang dan bahagia disana, ibu tak pernah putus mengirimkan doa pada Sang Pencipta, menitipkan putrinya di tempat yang mulia.
Ibu juga menjadi ibu yang luar biasa hebat bagiku, rasanya pengalaman hidupnya tak dapat kurangkum dengan kalimat-kalimatku. Anak keempatnya adalah laki-laki, Boy, begitu ia dipanggil. Aku menceritakan sedikit tentang ibu dan boy putranya. Boy, anak laki-laki ibu yang pertama, adikknya bernama Doni, jauh berbeda karakter yang mereka berdua miliki. Omku Boy, istimewa sejak masih kecil, ibu mengenangnya sebagai bocah nakal dan banyak ide. Namun ibu tak pernah bisa memarahinya dengan sungguh karena ia akan manis ketika ibu akan memarahinya, ibu dan bapak mamaku mendidik dan membesarkan anak mereka tanpa kekerasan sedikitpun, jangankan memukul, menyubit anak-anak merekapun tabu rasanya jika dilakukan. Bapak biasanya hanya akan mengulung koran yang dibawanya sambil mengacungkannya pada anak-anaknya, itupun sudah membuat anak-anaknya ketakutan. Singkat cerita, omku diperbudak oleh barang haram bernama Narkoba. Ibuku selalu tetap saja tegar menghadapi segala cobaan dan rintangan yang dialaminya. Ibu yang kala itu harus kehilangan harta benda akibat ulah omku tak pernah mengeluh dan mau menyerah dengan keadaan, yang ibu tahu ibulah yang harus memenangkan hati anaknya. Usaha dan doa ibu tak pernah sia-sia, kini putranya telah bebas dari jeratan ”barang haram” itu, bahkan hal itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Kami sekeluarga selalu menganggap ibu mengistimewakan putra keempatnya itu, namun disisi lain aku memahami, bagaimana tidak ibu begitu, ibu hampir kehilangan putranya itu, tentu saja setelah sekarang putranya berada dijalan yang seharusnya, berumah tangga, dan berpenghasilan cukup, betapa bahagianya ibu bisa melihat putranya yang bagai ”anak yang hilang” telah kembali lagi dalam dekapannya. Walau secara fisik untuk mendekapnya saja ibu sekarang sulit, hampir dua setengah tahun omku menjelajah negeri entah berantah bersama istrinya. Ibu masih sesekali berbicara dan bertukar kabar dengannya. Yang aku ingin petik dari pengalaman ibu, ketika seorang ibu dengan tulus mendidik anaknya, mendoakannya siang dan malam, apapun yang dikerjakan anak-anaknya, akan tetap selalu dijalan yang benar, apabila terkadang kita terlena dengan jalan yang salah, doa ibu, dukungan ibu, dan semangat yang diberikan oleh ibu adalah arah dan petunjuk yang Tuhan berikan sebagai jalan keluar dari permasalahan kita.
Aku menganggap ibu sebagai salah satu sahabatku, aku tak segan menceritakan segala sesuatu pada ibu. Aku dan mamaku yang hanya berjarak duapuluh tahun, sering tak sepaham, apalagi ketika aku menginjak masa remaja. Tak hanya sekolah, kuliah, kehidupan pribadiku, bahkan ketika aku sekarang berumah tangga, apapun yang aku alami dengan pernikahan dan kehamilanku, ibu pasti tau. Sekarang jarak memang memisahkan kami, namun komunikasi kami tak pernah putus. Kadang aku merasa jauh lebih nyaman bercerita dengannya dibanding dengan ibu kandungku sendiri. Selain pengalamannya yang lebih banyak, ia tak pernah mau ketinggalan jaman, buku-buku selalu dibelinya untuk dijadikan pedoman dan memperbaharui informasi. Ibu juga seorang yang religius, tak pernah ditinggalkannya doa pagi saat ia membuka mata dan saat ia akan kembali menutup mata untuk beristirahat dimalam hari. Dalam setiap doanya ibu menyebutkan seluruh keluarga besar Nugroho agar selalu dalam lindunganNya. Tak lupa ia mendoakan setiap anaknya, sesuai kebutuhan dan karakter masing-masing. Ibupun menganggap aku sebagai sahabatnya, tempat ia bisa menumpahkan segala isi hatinya, apalagi jika sedang berselisih paham dengan bapak, tak mungkin ibu menceritakan hal itu pada anak-anaknya, pasti anak-anak akan memihak atau bahkan membela bapaknya. Bagi ibu aku adalah pihak yang netral, tak pernah aku secara langsung memihak ibu ataupun bapak, ibupun kerap meminta pendapatku tentang apa yang dialaminya.
Aku tuliskan kembali sepucuk kertas berisi apa arti ibu bagi mamaku, aku menemukan ditumpukan bukunya. Disertai gambar seorang ibu sedang menggendong putrinya ada kata-kata didalam gambar itu ada kalimat ”Wanita lihatlah anakmu, Anak lihatlah ibumu”. Semoga ibu membaca isi hati mamaku, akupun dapat mencontohkan apa yang telah diajarkan ibu pada mama dan apa yang telah mama terapkan pada anak-anaknya. Aku, mama, dan ibu bersahabat karena telah terbiasa menceritakan semuanya.
IBUKU IDOLAKU
Ibuku adalah seorang Guru, sejak kecil aku selalu di didik untuk bersikap terbuka dalam segala hal. Hal itu berlaku mulai aku menginjak bangku sekolah. Tiap kali pulang sekolah aku selalu menunggu ibu pulang mengajar untuk makan bersama dengan saudara-saudaraku yang lain, saat itulah ibu selalu menanyakan kegiatanku disekolah, itupun yang membuat aku menjadi biasa mengutarakan segala sesuatu dengan ibu. Tak terasa aku juga sudah menjadi seorang ibu dimana kebiasaan yang diajarkan ibuku, aku pakai untuk membiasakan anak-anakku menceritakan apa saja yang dialaminya disekolah, pergaulan serta dimanapun mereka berada. Dari situlah aku bisa mengambil hikmah yang paling berharga dari ibuku yang menjadikan anak sebagai sahabat, yang bisa diajak bercerita panjang lebar, suka duka, dan akan selalu mendengarkan dengan seksama.
Itu tanda cinta mamaku untuk ibu. Aku selalu mendoakan ibu supaya tetap sehat. Begitu juga dengan bapak. Mereka telah menantikan kehadiran buah hatiku. Aku selalu menyukai kalimat terahkirnya ketika telephone dengan kami anak-cucunya yang jauh darinya, ”Yo wes ati-ati (ya sudah hati-hati), Tuhan Memberkati”. Hati-hati kuartikan sebagai dimanapun dan apapun yang sedang kami lakukan harus selalu ingat dan hati-hati tetap berada dijalan yang benar, dan untuk kami selalu didoakan agar Tuhan selalu memberkati kami dimanapun dan apapun juga yang kami lakukan.
Matur Sembah Nuwun bu, atas semua doa yang tak pernah putus, untuk kesabaran dan kerja keras ibu mendidik dan membesarkan anak-anakmu, orang tua kami. Untuk setiap tetesan air mata yang pernah ibu tumpahkan untuk anak dan cucu ibu. Maafkan aku pernah membuatmu kawatir dan membantah apa yang ibu ucapkan, walaupun ibu bukan yang melahirkanku, namun rasa cinta dan hormat yang kumiliki tak ada bedanya dengan apa yang kurasakan untuk mamaku karena aku tau ibu adalah Surga dari Surgaku, jika aku tak mencintai dan menghormati ibu mana mungkin aku menemukan Surgaku jika aku tak turut serta mendoakan, mencintai, dan memuliakan Surganya Surgaku. Ditelapak kakimu ada surga mamaku, dan ditelapak kaki mamaku ada surgaku. Aku mencintaimu dengan caraku bu. Tetaplah sehat, tetaplah kuat, dan tetaplah selalu ada untuk anak-cucumu, doakan kami selalu, sertai kami selalu, tunggu aku membawa buyutmu.
Komentar
Posting Komentar