Menulis namanya saja aku sudah meneteskan air mata. Tak mudah bagiku, menceritakan apa yang aku miliki bersamanya. Beliau Ibu papaku, semua orang pasti menyetujui apa yang aku katakan, bahwa parasnya ayu rupawan, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, badannya sebelum terkena penyakit diabetes gemuk, masa mudanya ayu rupawan bagai seorang primadona, aku sangat mengaguminya. Banyak yang bilang aku mungkin duplikat masa mudanya, beliau sendiripun dulu mengatakan hal yang serupa. Suaraku jika aku berteriak atau mengucapkan sesuatu dengan intonasi tertentu selalu diidentikkan dengan suaranya.
Ibu papaku mempunyai dua orang anak, papaku anak pertamanya hanya berjarak tiga tahun dari kelahiran papaku, beliau melahirkan tanteku. Beliau salah satu figur ibu yang turut membesarkanku, ibu mamaku menceritakan, waktu aku keci, setiap masuk mobil aku adalah bocah yang rewel dan banyak permintaan, yang minta susu, minta lampu mobil di nyalakan, minta BAB, rewellah dapat dikatakan seperti itu. Mamaku yang masih muda tentu saja tidak sabar dengan tingkah polahku, mamarahiku, namun ibu papaku itu dengan penuh kasih sayang merawatku. Bahkan di mobilnya selalu disediakan air dan kursi kecil untuk berhenti di tengah jalan apabila aku rewel BAB. Akupun selalu dbawanya kemana-mana, dari jakarta hingga kota manapun beliau pergi tak lupa ku turut serta, dari acara arisan sampai kondangan teman atau koleganya juga begitu. Beliau dan suaminya, ayah papaku, terlahir dengan nama Bambang Priyadi dan menjadi Bambang Priyadi Priyokartono setelah menikah dengan Ibu papaku, mereka berdua sewaktu aku kecil sedang jaya-jayanya dalam melakukan bisnis batiknya, mamaku bilang aku adalah cucunya yang paling kenyang bergonta-ganti mobil, seluruh perhatianpun aku dapatkan, aku adalah anak pertama, cucu pertama, bahkan buyut pertama di keluarga papaku.
Setelah aku besar, kelas 1 SMA aku pindah lagi kerumahnya, akupun sering bolak-balik tinggal di rumah papaku atau di rumah mamaku, namun hal itu berubah setelah kepergian Yuttiku, ibu ibunya papaku, aku menjadi enggan tidur dirumah yang mempunyai banyak sekali kenangan antara aku dan yuttiku, hal itu jugalah yang kerap membuat ibu papaku keberatan. Namun tak bisa kupungkiri rumah mamaku memang jauh lebih ramai karena ada dua sepupuku yang juga tinggal disana salah satunya sebaya dengan ku tentu saja aku jauh lebih merasa nyaman disana dan rumah mamaku jauh lebih kandusif untuk belajar, kedua orang tua mamaku pensiunan guru, adik mamakupun seorang guru paling tidak jika aku ingin menanyakan sesuatu jauh lebih mudah dibanding jika bertanya pada ayah ibu papaku yang memang tidak menamatkan sekolahnya, walau begitu mereka berdua selalu menginginkan setiap keturunannya tetap meraih pendidikan setinggi mungkin, di rumah papaku, rumahnya besar namun penghuninya sedikit, hanya ada beberapa pembantu rumah tangga, bapak ibu papaku yang kala itu masih sibuk melakukan perjalanan bisnisnya dari Jakrta-Bali, sering tidak dirumah, apabila dirumahpun pasti disibukkan dengan acara keluarga, baik arisan maupun kondangan, akupun sering diajaknya pergi arisan maupun kondangan itu, tapi tak mungkin aku dapat selalu ikut kemanapun mereka pergi.
Aku mengenal ibu papaku sebagai wanita tangguh, pekerja keras, dan sangat menghargai uang. Aku tau bagaimana usahanya mendapatkan uang tidak mudah. Dia hanya mengandalkan insting berbisnisnya yang tanpa didasari dengan pendidikan formal yang di dapat dari bangku sekolah. Jika diibaratkan sebuah mobil ibu papaku adalah mesinnya dan bapak papaku adalah kerangkanya, tentu saja mereka berdua tidak bisa dipisahkan, mereka rekan hidup, rekan kerja, dan selalu bekerja sama disetiap saat. Bapak adalah sopir yang membawa ibu keliling pelosok Jawa-Bali mencari kerajinan tangan yang dapat dipasarkan, jika bapak seorang sopirnya maka ibu adalah seorang yang dengan tekun memilih barang mana yang akan dipasarkan.
Ibu papaku itu mengidap penyakit diabetes sejak aku kecil. Begitu pula papaku. Akupun seharusnya hati-hati dengan penyakit genetik dan diturunkan secara menyilang itu. Berbagai macam obat, baik medis maupun jamu-jamuan telah ia minum, berbagai macam pengobatan sampai tindakan-tindakan alternatif apapun pernah dicobanya, pijit sudah, menggunakan lintah sudah, energi listrik sudah, tak terhitung jumlah dan rupiah yang telah dikeluarkannya. Namun kadar gula dalam darahnya masih saja tinggi, hal membuat heran ketika kadar gula darah dalam tubuhnya rendah malah ibu tak kuasa menahan rasa lemas. Aku lupa tahun berapa tepatnya ibu harus kehilangan ibu jari kaki kirinya akibat infeksi yang berkelanjutan dan mengharuskannya diamputasi. Pertengahan tahun 2009 ibu kembali masuk rumah sakit. Beberapa bulan setelah menjalankan perjalanan spiritualnya di negeri Eropa. Seminggu pertama ibu bukan dirawat oleh dokter yang biasa menanganinya, beliau dialihkan pada dokter lain karena dokter ibu biasanya tengah mengikuti seminar di negeri Kincir Angin. Kesehatan ibupun tidak banyak mengalami kemajuan, setelah diijinkan pulang dan sehari berada dirumah ibupun kembali masuk rumah sakit karena kondisi ibu tak kunjung membaik, akupun kembali menemani ibu dirumah sakit, dokter yang biasa merawat ibupun telah kembali ke tanah air dan bisa memberikan penanganan yang baik untuk ibu, ibupun pulih kembali seperti biasa. Hal yang terus membuat aku terkenang masa-masa ibu dirumah sakit kala itu adalah ketika ibu memohon padaku untuk segera saja melangsungkan pernikahan, dalam hatiku tentu aku mau-mau saja, lagipula aku tengah menjalani masa pacaran jarak jauh. Aku mencoba mengutarakan keinginanku pada mamaku, kontan saja mama tidak menyetujuinya, apalagi papaku, hal yang menjadi suatu syarat mutlak utuk aku menikah adalah telah mendapatkan gelar sarjana dibelakang namaku. Itu bisa ku raih satu setengah tahun dari waktu ibu memintanya. Begitu pula ketika aku menyampaikan pada pacarku, dia tak juga mendukung keinginan ibu, dia yang saat itu sedang mengambil studi pasca sarjananya merasa keberatan jika harus menikahiku dalam waktu dekat, tentu saja menikahiku akan dia lakukan tapi tidak sekarang, tidak dalam waktu dekat. Aku sebetulnya bisa saja menerima alasan-alasan yang diajukan oleh orang tuaku dan kekasihku, semuanya memang masuk akal, dan akupun ingin menyelesaikan kuliahku dulu. Aku mengatakan pada ibu untuk bersabar selama satu tahun,
”bu, sabar tho, tahun depan aku kan udah lulus, pasti aku nikah abis itu”
”setaun, kok suwe men opo aku kuat?(setahun, kok lama sekali apa aku kuat?)” ibu mengatakan satu kalimat yang membuat aku bertanya-tanya.
”kok kuat, ya harus kuat donk bu, ibukan udah sehat” ibupun hanya tersenyum memandangku.
Tak cukup dengan itu ibu membuat hatiku risau dan galau, ketika aku menyuapinya, sambil menonton televisi, muncul iklan sabun bayi, ibu mengatakan,
”rungokno kui, nek neng ngomah enak bayine kui nyenengke banget, sak omah mambu bayi, krungu suarane wae seneng. (dengarkan itu, kalau dirumah ada bayi pasti sangat menyenagkan sekali, seluruh rumah bau bayi, dan mendengar suaranya saja sudah senang)”
Aku tau perkataan ibu tadi mengandung maksud agar aku luluh menikah secepatnya, namun aku tetap menjelaskan bahwa hal yang diinginkan ibu tidak semudah membalikkan tangan. Banyak tanggung jawab yang aku dan pacarku harus tuntaskan terlebih dahulu. Ahkir bulan Mei 2009, ibu kekasihku menanyakan padaku, lewat obrolan santai kami, ibu pacarku menyatakan keinginannya untuk melamarku, sungguh luar biasa rasa hatiku, mungkin ini salah satu jawaban doa ibu, walau tak segera menikah, namun aku akan dilamar oleh keluarga kekasihku, akupun mengutarakan keinginan keluarga kekasihku itu pada keluargaku, bahkan beberapa hari setelah itu orang tua kekasihku datang ke rumah mamaku untuk bertemu dengan bapak ibu mamaku, mereka menyatakan keinginannya untuk melamarku, karena kami orang jawa, yang berkewajiban melamar seorang gadis adalah laki-laki yang dituakan dalam keluarga, dan laki-laki dalam keluarga kekasihku yang dituakan adalah Pakdhenya, kakak ibu kekasihku yang berdomisili di Jakarta, tentu saja harus dicari waktu yang tepat untuk melaksanakan lamaran tersebut. Setelah melewati proses mencari waktu yang cukup panjang, karena beberapa kali diundur dari waktu yang telah ditentukan, maka di pilihlah tanggal 24 September 2010 sebagai hari dimana aku dilamar oleh keluarga kekasihku, ya mulai hari itu aku resmi menjadi calon istrinya, tak ada hantaran ataupun bahkan sepasang cincin yang dikenakan pada kami malam itu, kerena hari itu aku hanya resmi diminta sebagai calon istrinya. Ibu yang masih sehat kala itu, walaupun tubuhnya kian mengurus, masih tetap bisa hadir memberiku restu, akupun sengkem padanya meminta restunya.
Beberapa minggu setelah itu, keluarga besar papaku hendak pergi ke Jakarta, karena sepupu ibu papaku akan menikahkan putra sulungnya. Aku, mama, papa, adik-adikku, dan calon suamiku pergi ke Jakarta dengan mengandarai mobil, sedangkan ibu dan bapak papaku turut serta dalam rombongan yang menggunakan bus. Kami yang berangkat lebih belakangan daripada bus ibu, karena harus menunggu jam pulang sekolah adikku, malah tiba tak berjarak lama dari kedatangan ibu bapak papaku di rumah tante papaku. Pagi hari itu aku masih bertemu ibu, bapak mengatakan kondisinya drop, mungkin juga karena dinginnya AC bus dan waktu yang ditempuh sangat lama, ibu juga kehilangan nafsu makannya, hal tersebut yang membuat keadaannya drop. Kami memang sudah memesan kamar disalah satu hotel, namun baru pada siang hari kami baru bisa memasuki hotel itulah sebabnya kami mampir untuk mandi dan sarapan sebelum melanjutkan perjalanan, rencananya hari itu kami akan menghabiskan waktu dengan bermain di taman hiburan terbesar di negeri ini di kawasan ancol. Siang itu juga adik papaku menjemput ibu dan bapak papaku untuk kerumahnya, rumahnya disalah satu kota di jawa barat. Saat akan menikmati salah satu wahana yang ada, handphone papaku berbunyi, tanteku mengabarkan bahwa tadi ibu sempat pingsan, papaku langsung mengirimkan pesan singkat pada ibunya. Entah apa maksudnya, ibu papa mengirimkan pesan,
”nek koewe pengen umurku dhowo ojo rene (kalo kamu ingin umurku panjang maka jangan kesini)”
Kesini yang dimaksud ibu papaku adalah datang kerumah adik papaku, entah apa maksudnya, hal tersebut membuat hati papa mamaku galau, malam harinya kami semua memutuskan kesana, perjalanan jauh dapat dikatakan seperti itu karena dari hotel hingga rumah adik papaku membutuhkan waktu dua jam sekali jalan. Sampai sanapun ibu hanya diam tiduran di kamar. Keseokan harinya, aku masih ingat betul itu malam minggu, kami kembali bertemu pada acara pernikahan saudara ibu papaku itu, tak banyak bicara dan hanya diam. Dikesempatan itu aku memperkenalkan calon suamiku pada keluarga besar papaku. Papaku dan adikknya telah sepakat bahwa ibu dan bapak tidak boleh pulang ke kota kelahiranku dengan turut serta kembali menggunakan bus, melainkan menggunakan pesawat, keesokan harinya ibu yang kala itu diupayakan menggunakan kursi roda harus menunggu penundaan penerbangan yang akan membawanya. Hari Senin tak kunjung membaik konsidi ibu, ibu dan bapak memutuskan melakukan pengobatan alternatif yang biasa dilakukannya. Selasa, mama dan papaku datang kerumah papaku untuk melihat keadaan ibu, ibu kembali pingsan, kami semua mengupayakan sekuat tenaga membujukknya untuk masuk rumah sakit, ibu masih bisa berkilah bahwa ia tadi tidak jatuh pingsan dan tidak perlu dibawa kerumah sakit, semua tak memperdulikan perkataannya. Rabu kondisinya masih belum membaik, ia bahkan meminta bapak untuk menelepon putrinya yang di Jawa Barat untuk pulang, dengan beralasan sibuk putrinya pun tak memenuhi permintaanya. Kamis dokter mengeluarkan darah dari dalam tubuhnya, mamaku bilang yang keluar dari perutnya berwarna hitam, jadi kemungkinan liver/hati ibu sudah tidak berfungsi, ibu menjadi pucat, matanya hanya terbuka sesekali saja, bapak dengan setia mengelus rambutnya, memijati kaki dan badan ibu, mamakupun menyisiri rambutnya. Ibu gelisah, badannya tak bisa tenang, beliau membolak balikkan badan, aku yang kala itu tak begitu intensif merawatnya, karena aku pikir ada papa mamaku, akupun disibukkan dengan kegiatan kuliah dan kala itupun mama papa adikku dan calon suamiku belum berencana untuk kembali ke Pulau Dewata dimana mereka semuanya menetap, diwaktu itu sedang libur hari raya umat hindu, hari minggu mereka berencana untuk pulang. Jumat pagi, bapak menelepon dari rumah sakit kondisi ibu menurun, akupun dengan berat hati dan gelisah menuju kampus, mama papaku menurunkanku di kampus sedangkan mereka menuju rumah sakit dengan mobilku, selama mengikuti kegiatan dikampus hatiku tak tenang, ada sebuah tes psikologi yang wajib diikuti oleh angkatanku, tak konsenstrasi aku mengerjakannya, hatiku diliputi rasa cemas, mamapun mengabari kondisi ibu memang menurun drastis, waktu yang sebisa mungkin kuputar malah berjalan lambat, setelah menyelesaikan tes psikologi itu aku minta tolong calon suamiku untuk menjemputku dan kamipun menuju rumah sakit, aku melihat ibu sudah berbeda dengan apa yang kulihat semalam, bibirnya membiru, lidahnya sudah tidak seperti kemarin, ibupun tetap gelisah. Aku berinisiatif menjemput Yutkungku, beliau harus disamping putrinya sekarang, itu pikirku, sebelum menjemput yutkungku, aku pergi ke makam Yuttiku, aku berdoa, memohon maaf atas kesalahan ibu padanya, dan ijinkan ibu menjalani yang terbaik baginya. Aku tahu mungkin ibu banyak dosa dengan Yutti dan akupun tanpa ada yang menuruhku aku pergi ”nyekar” ke makam yutti. Setelah itu aku menjemput Yuykungku dan mengajaknya melihat kondisi putrinya saat ini, semoga saja dengan ada Yutkung, Yutkung juga bisa turut mendoakan ibu, walau keluargaku dan Yutkung berbeda keyakinan. Sahabat-sahabat ibu telah berada setia disamping ibu, Eyang Tina, begitu aku biasa memanggilnya, memegang Rosario sambil tak henti-hentinya mengucapkan doa. Calon Ibu Mertuakupun sama halnya, beliau memegang Rosario dan turut memanjatkan doa untuk ibu. Aku mengharu biru menyaksikan Yutkung mencium pipi putrinya, yutkung pun tak kuasa menahan tangis. Pukul 15.00 WIB, tepat jam 3 sore adalah saat yang tidak pernah kulupa, saat para sahabatnya selesai mengucap AMIN atas doa Rosario pembebasannya, ibu pergi, ya di kamar itu, kami memanggil suster dan susterpun segera memanggil dokter jaga untuk mengetahui kondisi ibu, dokter jaga kala itu adalah salah satu kawan ibu juga, setelah dilakukan penanganan sederhana, dokter mengatakan ibu telah berpulang ke pada Yang Kuasa, papa mamaku aku dan adik-adikku masih bersyukur, sesaat sebelum ibu menghembuskan nafas terahkirnya, papaku membisikkan permohonan maafnya ditelinga ibu, entah ibu mendengar atau tidak, dan papapun menciumi kaki ibunya, dimana surganya telah diciptakan Tuhan.
Tangisku meledak, kaki yang tadinya kuat menopang badanku rasanya lemas, aku menangis di lantai, calon suamiku menenangkan aku, semua orangpun yang ada didalam ruangan itu menangis. Aku masih terngiang kata-kata sahabatnya, ”Sugeng tindak mbak Nuk! (selamat jalan mbak Nuk!)” sakit rasanya hatiku, bahkan saat aku menulis inipun tak kuasa aku menumpahkan air mataku. Aku selalu tak kuat ketika aku harus menceritakan kepergiannya. Ada rasa rindu yang menyesak didada. Keesokan harinya ibu dikebumikan, banyaknya pelayat yang datang menandakan bahwa ibu dicinta dan dikenang banyak orang. Aku bersyukur ibu masih bisa melihatku dilamar calon suamiku, paling tidak ibu mengetahui tak lama setelah itu aku pasti akan menikah. Mungkin, jika lamaran itu tak terlaksana tak tahu bagaimana menyesalnya aku, karena salah satu permintaanya tak dapat kupenuhi. Ternyata benar, hanya untuk menunggu satu tahun saja raga ibu sudah tidak kuat, lima bulan setelah ibu memintaku menikah, ibu berpulang pada Sang Empunya Nyawa, Sang Pemilik Semesta.
Bu, aku tahu ibu telah damai disana, ibu jauh lebih bahagia disisiNya, tak ada lagi rasa sakit, tak ada lagi beban yang ibu pikirkan. Selalu restui aku bu, aku sedang mengandung buyutmu, ya, apa yang selalu ibu inginkan selalu terjadi padaku. Aku tahu bu, restumu selalu meliputiku. Aku pernah berkeyakinan ketika tiba seribu harimu aku telah membawa buah hatiku menaburkan bunga di pusaramu, akupun yakin Tuhan mendengarku saat itu. Hari ini saat aku menulis ini, usia kandunganku telah memasuki usia 20 minggu. Aku akan memenuhi janjiku, kan kujaga buah hatiku dengan sepenuh hati, sampai suatu saat nanti aku akan perkenalkan ia pada pusaramu, tempat peristirahatan terahkirmu bu. Sampai detik ini, aku masih merindumu. Akan ku ambil contoh yang baik darimu ketika kau turut membesarkan aku. Salamku pada Sang Pencipta, semoga kami semua yang di dunia, masih dalam lindunganNya.
Takkan kulupa lagu kesukaanmu. Akan selalu ku nyanyikan ketika aku merindukanmu. Mungkin benar apa yang diungkap oleh lagu kesukaanmu itu. Seribu Kota dalam bahasa jawa “Sewu Kutho”, perjalanan hidupmu membawa kau bepergian seribu kota dari seluruh Pulau Jawa, Bali, bahkan Sumatera kau jelajahi. Ketika sekarang aku bertanya pada setiap hati dimana kau berada, tak ada satupun yang bisa menemukan. Kau tak pernag pergi. Kau selalu di hati kami bu. Semua anak cucu bahkan akan selalu ada dihati suamimu.
“Sewu Kutho”
Di populerkan oleh Didi Kempot
Sewu kutho uwis tak lewati
Sewu ati tak takoni
Nanging kabeh podo ra ngerteni
Lungamu neng ngendi
Pirang taun anggon ku ngoleki
Seprene during bisa nemoni
Wis tak cobo
nglalekake jenengmu soko atiku
Sak tenane aku orang ngapusi
Isih tresno sliramu
Umpamane kowe uwis mulyo
lilo aku lilo
Yo mung siji dadi panyuwunku
Aku pengen ketemu
Senadyan sak kedheping mata
Tak nggo tombo kangen jroning dodo
Senadyan waktu mung sedelo
Tak nggo tombo kangen jroning dodo
Komentar
Posting Komentar