R.Ay Siti Krisminah memang nama lengkap ibu mertuaku, namun orang akan jauh lebih mengenal jika nama kecilnya disebut ”Nderik”, begitu aku dan semua orang memanggilnya. R.Ay didepan namanya menunjukkan bahwa dia masih berdarah biru walaupun sudah keturunan yang kesekian. Aku melihatnya sebagai wanita luar biasa dalam hidupku. Ibu mertuaku itu berpawakan kecil, tidak kurus, ya memang agak susut dibanding beberapa tahun yang lalu, mungkin termakan usia. Namun sampai saat ini ibu masih sehat dalam menjalani kegiatan-kegiatan sehari-hari dalam mengisi masa pensiunnya ini.
Ia ibu bagi tiga putri-putranya, buah hati pertamanya perempuan cantik rupawan, putri keduanya tak lain dan tak bukan istri dari adik mamaku, mungkin terdengar aneh dan membingungkan namun itulah adanya, dan yang ketiga dan terahkir tentu saja suamiku sendiri. Suaminya bernama A. Santosa. Mereka semua adalah keluarga baru untukku, karena baru beberapa bulan ini aku secara resmi menjadi anggota keluarga mereka. Walau baru resmi, namun mereka semua bukan orang-orang asing bagi duniaku. Sebelum menikah aku terlebih dahulu 4 tahun berpacaran, dan aku mengenal kakak iparku sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, saat kakak ipaku atau tante ku itu masih berpacaran dengan omku. Begitu pula dengan keluarganya, akupun telah mengenalnya sejak lama.
Mungkin tak banyak kata yang bisa kuungkap, yang jelas aku tau aku mencintainya sama seperti aku mencintai ibu-ibuku yang lain. Suamikupun aku rasa jauh lebih mencintai ibunya. Itu karena ibu istimewa dimata kami semua. Ibu adalah tipe ibu mandiri, sampai detik inipun ia tidak akan pernah mengeluh bahkan meminta tolong jika semua masih bisa ibu kerjakan sendiri. Ibu masih aktif pergi kemana-mana sendiri dengan angkutan umum jika tak ada seseorang yang bisa mengantarnya pergi ke suatu tempat. Aku mencintainya dan memuliakannya karena ia “surga” suamiku, dimana dengan berbakti padanya pula aku mendapatkan kebahagiaan dan restunya menjalani hidup bersama suamiku. Seorang laki-laki hebat tidak akan pernah bisa berdiri sendirian tanpa bantuan perempuan dibelakangnya, jika laki-laki itu adalah suamiku, maka perempuan dibelakang suamiku adalah ibu mertuaku baru kemudian aku, karena aku tau doa ibunya jauh akan lebih didengar Tuhan, dan aku yakin sampai saat inipun ibu mertuaku masih setia mendoakan putra-putrinya supaya mendapatkan jalan hidup yang baik dimanapun putra-putrinya itu tinggal dan berkarya. Seorang anak pada titahnya harus berbakti pada orang tua. Kami pun selalu mengusahakan berbakti pada orang tua kami.
Aku selalu diajarkan oleh keluargaku untuk selalu menjujung tinggi dan menghormati mertuaku, ibu mamaku dan mamaku selalu berpesan, hormatilah mertuamu, karena jikalau kamu melakukan suatu kesalahan dihadapan orang tua kandungmu sendiri maka orang tuamu akan dengan mudah memaafkan dan mengampunimu. Namun belum tentu jika itu terjadi pada mertuamu, apapun yang terjadi mereka bukan orang tua yang melahirkanmu, maka hormati dan sayangi mereka, jaga perasaan mereka, itu kewajibanku sebagai seorang menantu. Aku bersyukur mempunyai ibu mertua yang baik dan sangat menyayangiku. Saat aku dan suamiku dulu menjalani pacaran jarak jauh, aku selalu menyempatkan waktu disela-sela waktu kuliahku untuk mendatangi rumahnya, jujur ketika awal masa pacaran jarak jauh kami, walau pertamanya berat namun aku tetap mengunjunginya paling tidak seminggu sekali untuk sekedar berbincang serta berbagi cerita pada ibu dan papi.
Ibu mertuaku juga juru masak yang hebat, aku suka hampir semua masakannya, yang paling membuat aku ketagihan adalah sup buntut dan asem-asem kikilnya. Suamikupun tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk selalu menyantap masakan ibunya itu. Ya, di masakan-masakan tertentu tentu saja aku kalah jika dibandingkan ibu mertuaku, aku dan semua orang pasti mengakuinya.
Tak lupa dalam setiap doaku aku selalu mendoakan ibu dan papi, mertuaku, supaya mereka sehat dan selalu dilimpahi berkat Tuhan. Dalam kondisiku yang sedang mengandung cucunya ini, aku selalu mendoakan ibu yang dulu pernah mengandung dan melahirkan suamiku kedunia. Pasti apa yang aku rasakan pernah juga dirasakan olehnya. Akupun bersyukur punya ibu mertua seperti dia, aku mencintainya, aku menganggapnya bagai ibuku sendiri, aku bisa menceritakan apapun dengannya, bertanya tentang apa yang dia tau, bercanda, bahkan menggodanya sesekali.
“Pengestoni” kami ya bu, doakan kami selalu supaya Tuhan selalu menuntun jalan kami. Kami butuh doa ibu, doakan aku juga, aku sedang mengandung cucumu, buah cintaku dengan putra kesayanganmu. Doakan aku bisa kuat sepertimu. Tetaplah sehat, tetaplah menjadi ibu yang selalu ada kapanpun putra-putrimu membutuhkanmu. Tetaplah menginsiprasiku untuk tetap dan selalu menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak. Teruslah membagi ilmu tentang bagaimana menjadi ibu, tentang hidup, atau tentang apapun denganku, ajari aku untuk menjadi wanita sepertimu. Aku mengagumimu dengan caraku bu. Aku mencintaimu, terima kasih mau menerimaku sebagai putrimu.
Ibu
Dipopulerkan oleh Iwan Fals
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
lewati rintangan untuk aku anakku
Ibukku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas
Ibu… Ibu…
Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu dooa doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa aku membalas
Ibu ibu
Sebuah lagu yang dulu, ketika dilantunkan oleh sebuah grub musik asal Surabaya ketika mengikuti ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta, membuat calon suamiku berlinang air mata, ya begitu besar rasa cintanya pada ibunya. Akupun belajar banyak darinya, belajar bagaimana kita harus mengabdi pada orang tua, suamiku memberiku contoh sebagai anak yang baik, yang selalu dengan segala daya upaya bilang “nggih” atau iya dalam bahasa Indonesia. Dua kata yang mencerminkan perilakunya itu, “Dharmaning Siwi” kata-kata dalam bahasa jawa yang berarti “Baktinya Anak”. Dengan begitu aku juga menghormati ibunya, dimana surga suamiku ada di telapak kakinya.
Komentar
Posting Komentar