Marsinah adalah adik kandung dari Yuttiku Mariam, aku juga ingin menceritakan sedikit tentang dia, bagaimana aku turut dibesarkan olehnya, pawakannya jauh lebih besar dari kakaknya, jika Yuttiku kecil, maka beliau agak sedikit tinggi dan mempunyai badan lebih berisi, dan tentu saja semakin berjalannya waktu tubuhnya makin mengecil dimakan oleh usia. Aku mengenangnya dengan nyanyian-nyanyian gending jawa yang selalu beliau senandungkan ketika aku kecil dulu, tak hanya aku saja bahkan hal tersebut berlaku sampai adik-adikku. Beliau lebih pandai bercerita dan bernyanyi bahasa jawa.
Suaminya adalah Pensiunan Pegawai Radio Republik Indonesia di kota kami. Setiap pagi, aku selalu menunggu kedatangannya dengan menggunakan bis kota yang selalu menghantarkannya sampai di seberang rumah kami, rumahnya beberapa kilometer dari rumah dimana aku dibesarkan, setiap hari beliau datang ke rumah kami. Ibu dari papaku juga memanggilnya “Sibu”, ibu yang lain selain ibu kandungnya, konon Ibu papaku memanggilnya begitu karena beliau tidak mempunyai anak dan ibu papaku di ambilnya sebagai anak, tidak secara resmi, namun hanya beliau anggap sebagai anak dan dirawat bersama dengan Yuttiku. Selain ibu papaku, beliau juga menganggakat satu orang anak perempuan lagi untuk menjadi puterinya, aku memanggilnya Budhe.
Aku memanggi Marsinah dengan sebutan Yutti Bitan, yutti bitanku mulai dilarang naik bisa kota sendiri ke rumahku setelah beliau mulai bingung dan sering “ngluyuri” seperti akan jatuh karena pusing atau kehilangan keseimbangan tubuhnya. Pertemuanku dengannya pun sangat jarang, hanya beberapa kali saja dalam suatu waktu. Aku dapat sebuh cincin dan sepasang anting-anting darinya, aku menganggap itu sebagai suatu hadiah yang tak ternilai harganya, suatu saat nanti jika Tuhan memberi aku seorang malaikat cantik, aku akan memakaikan anting-anting itu padanya. Pada saat aku kehilangan ibu papaku, beliau tak henti-hentinya menyebut Asma Allah, dan melakukan istigfar. Beliau tak percaya perempuan yang dianggapnya sebagai anak itu telah pergi mendahuluinya, sambil berlinang air mata yutti bitanku berujuar, harusnya aku yang mati, bukan ibu papaku, aku yang lebih tua, dulu ibu papaku selalu berpesan agar yutti bitanku sehat, supaya bisa menemaniku dan memberi restu saat aku menikah. Dan ternyata betul, yutti bitanku masih bisa menemaniku saat aku menikah, bahkan menyiramiku dengan air bunga seraya memanjatkan doa dan restunya padaku. Ibu papaku yang berpesan malah terlebih dahulu pulang. Aku memandang isak tangis yutti bitanku atas kepergian dari ibu papaku sebagai sosok seorang ibu yang kehilangan anak yang dicintainya. Walaupun tidak pernah merasakan yang namanya mengandung dan melahirkan, namun karena cintanya yang begitu besar pada ibu papaku membuatnya kehilangan layaknya ia yang mengandung dan melahirkan. Sungguh mulia engkau wahai para wanita yang tidak diberi kesempatan untuk mengandung, namun jiwa keibuan tetap saja kau punyai, dan kau bagikan cinta kasihmu pada orang-orang disekitarmu.
Bulan Februari 2011 ini, aku kehilangannya, beliau pergi berpulang kehadirat Yang Kuasa, entah mengapa, satu persatu yang ku cinta pergi dariku. Aku tahu tak ada yang abadi di dunia. Namun cintaku padanya yang meninggalkanku akan tetap abadi sampai selamanya ada di hati. Beberapa waktu sebelum dia berpulang, beliau selalu berkata bahwa telah ditunggu sama “Simboknya” begitu ia dulu memanggil ibunya. Beliau menceritakan bahwa simboknya telah setia menemaninya ahkir-ahkir ni, bahkan turut serta ketika beliau sedang memeriksakan kesehatannya ke dokter, budhe ku hanya tersenyum saja mendengar cerita yutti bitanku. Namun banyak orang mengatakan apabila waktu ajal telah dekat, tak jarang beberapa orang mulai merasa ditunggui bahkan hidup dengan orang-orang yang telah tiada, begitu pula dengan yutti bitanku. Akupun pernah bermimpi, mama membelikannya sebuah parfum, dan di mimpi berikutnya akupun memimpikannya. Entah itu firasat atau bukan. Awal bulan Februari 2011, mamaku mendapat telpon dari Budheku, dia menceritakan yutti bitanku terjatuh dan harus oprasi, lengannya patah, aku tak bisa menceritakan secara detail karena akupun tidak begitu paham runtutan kejadian dan bagaimana beliau di oprasi. Aku hanya ingat, mamaku mengirimkan pesan singkat di malam minggu itu, mengabarkan bahwa yutti bitanku kritis, mama dan papa yang kala itu harus menghadiri pesta pernikahan salah satu temannya, tidak dapat menceritakan bagaimana yutti bisa kritis, aku di suruhnya untuk menghubungi bapak papaku, aku merasa sedikit berdosa, karena tak seketika itu juga aku menuruti perintah mamaku, aku, suamiku ,dan adikku yang paling kecil sedang asyik nonton sebuah dvd film yang kami beli, filmpun hanya tinggal beberapa menit akan berahkir, aku pikir, akan ku telpon bapak ketika nanti filmnya usai, namun sayang, film usai dan aku langsung telpon bapak papaku, suara yang terdengar hanya isak tangis diseberang sana, mengabarkan bahwa sepuluh menit yang lalu, yutti bitanku berpulang, tangiskupun meledak, aku merasa berdosa, bagaimana mungkin aku lebih memilih menonton film yang bisa aku hentikan sejenak daripada mengetahui kabar yuttiku, namun semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa, aku langsung menelepon papa mamaku, mereka aku kabari tentang kepergian yuttiku, mereka bergegas pergi meninggalkan gedung tempat acara di laksanakan dan menuju tempat penjualan tiket pesawat 24 jam, aku yang masih di rumahpun disibukkan dengan mempersiapkan baju seadanya, yang penting siap berangkat untuk menghadiri pemakamannya besok, sayang tiket tak didapat, jadi kami memutuskan untuk mengambil jalan darat, ya, dengan mobil kami berlima menuju kota dimana aku dilahirkan, tak lupa aku memasang stagen dalam perutku, kandunganku yang belum genap menginjak usia tiga bulan pasti rawan jika harus melakukan perjalanan jarak jauh, dalam hati aku selalu berdoa dan berujar, kandunganku pasti kuat, aku mangajaknya berbicara bahwa dia harus kuat, aku melakukan perjalanan jauh ini guna memberi penghormatanku yang terahkir pada yutti bitanku, mungkin hanya dengan itu aku bisa membalas jasanya yang turut serta mempunyai andil dalam membesarkanku, aku masih tetap berterima kash pada Tuhan yang masih memberinya kesempatan melihat aku menikah dan memberikan restunya padaku. Aku yakin beliau sekarang telah berkumpul kembali dengan ”simboknya” yang beberapa waktu lalu beliau katakan sudah setia mendampinginya. Bahagialah disana yut, damai di sisiNya. Titip salamku pada Yuttiku, kakakmu itu.
Komentar
Posting Komentar